Bangsa ini mesti bersatu melawan korupsi. Untuk memberantas korupsi tidak saja dilakukan melalui penegakan hukum, akan tetapi perlu dilakukan upaya preventif berupa pendidikan tentang pemberantasan dan gawatnya korupsi itu sendiri. Semua itu mesti didukung oleh semua lapisan masyarakat.
Pendidikan antikorupsi juga mesti dilakukan di tingkat keluarga. Sebab keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama yang dialami dan diterima oleh setiap manusia. Untuk itu, pembentukan kepribadian paling efektif dilakukan di tingkat keluarga.
Dalam perspektif Islam ditegaskan: jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (Qs. At-Tahrim/66: 6). Pesan ini menunjukkan adanya tanggung jawab setiap individu untuk mendidik keluarganya agar terhindari dari segala bentuk perilaku yang negatif, tidak bermanfaat atau perilaku yang dapat menimbulkan mudharat.
Orang yang paling bertanggung jawab dalam keluarga tentu kedua orang tua; ayah dan ibu. Dalam konteks pendidikan antikorupsi ini, orang tua memiliki tanggung jawab penting dalam mendidik anak-anak dan keluarganya agar terhindar dari korupsi. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang patut dilakukan.
Pertama, menyadari bahwa hasil korupsi akan meracuni rohaniah anak dan keluarga. Dalam mindset orang tua mesti terbentuk bahwa korupsi adalah pekerjaan haram. Jika korupsi yang dilakukan itu menghasilkan uang dan digunakan untuk memberi makan anak dan istri, sesungguhnya ia telah membentuk keluarga yang bermental buruk, rohaniahnya rusak, sulit menerima kebenaran dan cenderung merasa senang dan nyaman melakukan hal-hal yang diharamkan. Tegasnya mereka jauh dari hidayah Allah.
Mengenai dampak negatif makanan yang haram terhadap perkembangan psikologis anak, juga diceritakan oleh Hamka dalam tafsirnya, al-Azhar. Ia mengutip kisah Abu Muhammad al-Juwaini, seorang permuda yang taat beribadah kepada Allah dan sangat berhati-hati kepada suata perkara yang subhat. Suatu ketika ia menikahi seorang perempuan yang shalehah, taat beribadah kepada Allah SWT. Dari hasil pernikahan itu lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdulmalik.
Setelah anak itu lahir, al-Juwaini berpesan sangat kepada istrinya jangan sampai ada perempuan lain yang menyusukan anak itu. Namun, suatu ketika istrinya sakit sehingga air susunya kering, sementara Abdilmalik yang masih bayi itu menangis kehausan. Lalu datanglah tetangganya, seorang perempuan yang merasa kasihan mendengar tangisan anak itu. Perempuan itu pun mengambil dan menyusukan anak tersebut. Tiba-tiba datanglah Abu Muhammad al-Juwaini. Melihat anaknya disusui oleh perempuan lain, dia pun tidak senang sehingga perempuan tersebut tahu diri dan bergegas pergi.
Kemudian al-Juwaini mengambil anak itu lalu menonggengkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sehingga anak itu memuntahkan air susu perempuan tetangga tadi. Beliau pun berkata: “Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya, dari pada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain, yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah.”
Anak yang bernama Abdulmalik itu kemudian terkenal dengan nama Imamul Haramain Abdulmalik al-Juwaini, ia adalah seorang ulama mazhab Syafi’i yang masyhur, pengikut teologi al-Asy’ari, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang mendidik Imam al-Ghazali, sampai menjadi ulama besar pula. Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah. Ketika itu, berkatalah dia setelah sadar dari kemarahannya, bahwa “(marah) ini barangkali adalah dari bekas sisa susu perempuan lain itu, yang tidak sempat aku muntahkan.”
Hanya air susu dari seorang perempuan yang tak dikenal ketaatannya kepada Allah dapat berakibat mentalitas seseorang sulit mengendalikan emosionalnya, padahal orang tersebut telah menjadi ulama besar. Lalu bagaimana dengan mentalitas seorang anak yang dibesarkan dengan hasil korupsi? Dan al-Juwaini adalah prototype orang tua yang sadar bahaya makanan subhat, apalagi haram, terhadap perkembangan mentalitas anaknya.
Kedua, jangan mengukur segala sesuatu dengan materi. Orang tua mesti mengajarkan kepada anaknya bahwa yang materi bukanlah tujuan (goal), tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Namun, terkadang orang tua tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan telah mengajarkan kepada anaknya bahwa materi merupakan tujuan dan indikator utama dalam mencapai kesuksesan. Misalnya, memberikan reward atau penghargaan kepada anak hanya dengan materi semata. Jika anak meraih prestasi, maka orang tuanya memberi imbalan berupa uang. Jika anak mau disuruh, juga diberi imbalan uang. Dan seterusnya. Akibatnya, psikologis anak akan terbentuk dengan “segala sesuatu diukur dengan uang”.
Boleh saja reward yang diberikan berupa materi. Namun mesti seimbang dengan mengoptimalkan spiritualitasnya. Imbalan tidak hanya berupa uang, tetapi bisa berupa pujian, ucapan yang menyenangkan, atau dengan cara berbagi dengan sesama; anak yatim, fakir miskin dan sebagainya.
Begitu pula dengan memberikan arti tentang sukses, janganlah diukur dengan materi semata. Ketika membimbing anak untuk bercita-cita, jangan hanya karena besarnya jumlah uang yang dihasilkan dari apa yang dicita-citakan. Tetapi cita-cita tersebut dipilih karena dianggap profesi itu banyak memberi manfaat bagi orang lain, berperan eksis di tengah masyarakat, hidup bernilai dan diridhai Allah SWT.
Ketiga, memberikan keteladan kepada keluarga. Orang tua mesti menjadi teladan bagi anak-anaknya untuk tegas mengatakan tidak pada korupsi. Orang tua senantiasa memberikan pemahaman kepada anaknya bahwa hidup yang bernilai bukanlah kemewahan, tetapi keteguhan hati dalam menjalankan nilai-nilai kebenaran.
Selain itu, korupsi tidak saja dipahami dari segi materi seperti mengambil uang yang bukan haknya. Tetapi korupsi juga dapat terjadi pada waktu, atau korupsi waktu. Hidup disiplin, menghargai waktu dan mengisinya dengan kegiatan positif merupakan hal penting yang mesti diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya dengan penerapan, bukan teori semata.
Keempat, memberikan pemahaman kepada anak sejak dini bahwa korupsi adalah perbuatan tercela. Orang tua hendaknya menanamkan kebencian terhadap korupsi. Dalam suatu hadis dijelaskan bahwa ketika seorang sahabat bernama Kirkirah mati di medan perang, Rasulullah saw. bersabda: “dia masuk neraka”. Para sahabat pun bergegas pergi menyelidiki perbekalan perangnya. Mereka mendapatkan mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari dalam kitab Jihad wa al-sair). Demikian kerasnya kecaman Islam terhadap para koruptor.
Selain itu, untuk menanamkan kebencian terhadap korupsi, orang tua perlu menegaskan bahwa kebanggaannya sebagai orang tua bukanlah karena anak-anaknya kelak menjadi orang kaya-raya, tetapi kebanggaan yang sebenarnya adalah ketika menyaksikan anak-anaknya menjadi orang yang shaleh, teguh memegang prinsip kebenaran. Dengan begitu diharapkan mereka akan menjadi insan yang berprinsip, tidak mudah tergoda oleh pengaruh lingkungan yang rusak, termasuk korupsi yang seakan membudaya.
Terakhir orang tua juga hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah agar anak dan keluarganya terhindar dari perbuatan-perbuatan maksiat, terutama perbuatan yang terkutuk, seperi korupsi ini. Doa Nabi Ibrahim as patut dicontoh oleh orang tua: “Rabbi habli minashshalihin,Ya Allah anugerahkanlah kepadaku anak yang shaleh”.
Dengan upaya dan doa seperti ini, insya Allah kita mampu melahirkan anak-anak yang anti terhadap korupsi. Mereka tetap istiqamah menegakkan kebenaran dan memerangi kebatilan. Insya Allah.
MUHAMMAD KOSIM
Sumber : harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar