Laman

Powered By Blogger

Minggu, 23 Maret 2014

Contempt of court sebagai perisai hakim





Sistem peradilan pidana Indonesia secara historis berasal dari negara Belanda yang sebelumnya mengadopsi sistem peradilan pidana Prancis (Code de Penal). 



Tetapi, perkembangan dunia hukum sekarang telah sedemikian maju sehingga tidak bisa dihindarkan bahwa sistem hukum common law dan civil law telah saling memengaruhi satu sama lain. Ini juga terjadi terhadap hukum pidana dan hukum acara pidana Indonesia yang dipengaruhi asas-asas hukum common law, khususnya dalam sistem peradilan pidana (KUHAP) Indonesia. 

Sistem peradilan pidana kontinental (civil law) yang dikenal sebagai “interrogation by magistrate” telah dipengaruhi sistem peradilan pidana Anglo- Saxon (common law) yang lebih dikenal sebagai “the battle of learned counsel” antara advokat dan jaksa. Dalam sistem peradilan pidana kontinental (civil law), hakim bersifat aktif, sedangkan di dalam sistem peradilan pidana Anglo-Saxon (common law), hakim bersifat pasif atau lebih berfungsi pada menganalisis dan menilai argumen hukum, bukti, dan fakta yang dikemukakan advokat dan jaksa. 

Sifat pasif inilah yang mengakibatkan hakim yang bebas perlu perisai bagi dirinya sebagai perlindungan. Salah satu perisai adalah konsep contempt of court yang semula tidak dikenal di dalam sistem peradilan pidana kontinental (civil law). Dalam sistem peradilan pidana kontinental hakim diberi seperangkat wewenang untuk menegur atau mengusir pihak yang mengganggu atau mengacaukan proses dan ketertiban sidang peradilan perkara pidana. 

Pada era Orde Baru, menteri kehakiman bersama-sama ketua Mahkamah Agung RI mengawasi perilaku advokat dan dapat memecat seorang advokat (disbarred) untuk tidak berpraktik melalui Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Kehakiman (Surat Keputusan Bersama Nomor KMA/005/SKB/VII/1987 dan Nomor M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan, dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum). 

Tindakan itu diambil jika perilaku seorang advokat mengganggu proses atau ketertiban persidangan perkara pidana. Agar penerapan keputusan bersama ini dapat dilaksanakan dengan baik, Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1987 tentang Penjelasan dan Petunjuk-Petunjuk Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Menteri Kehakiman Tanggal, 6Juli1987 Nomor Surat Keputusan Bersama KMA/ 005/SKB/VII/1987 dan Nomor M.03-PR.08.05 Tahun 1987. 

Perisai kebebasan hakim inilah yang akhir-akhir ini sering mendapatkan gangguan melalui berita di media cetak maupun tayangan televisi berupa talkshow yang seolah-olah melakukan gelar perkara dengan cara memperdebatkan perkara yang sedang berjalan. Seharusnya aksi itu tidak boleh dilakukan karena akan mengganggu kebebasan (independensi) dan imparsialitas hakim dalam memutus perkara pidana. 

Tidak aneh kalau di negaranegara maju advokat menginginkan klien yang dibelanya tidak banyak bicara dan tidak mengekspos perkara yang ditanganinya, begitu juga jaksa, karena apa yang akan dikemukakan dan diajukan akan dipertimbangkan dalam sidang pengadilan dan bukan di luar sidang pengadilan. Budaya hukum menghormati proses sidang di lembaga peradilan sudah begitu tinggi seperti di Inggris sehingga sidang perkara pidana tidak bisa diliput media untuk menjaga wibawa dan otoritas lembaga peradilan. 

Juri di Amerika Serikat dikonsinyir dalam rentang waktu tertentu di tempat yang dirahasiakan, steril, dan dijauhkan dari media sehingga netralitasnya terjamin dan putusannya tidak bias karena opini publik atau bentuk informasi langsung maupun tidak langsung. Prasangka juri dan hakim akan dapat merugikan terdakwa yang disebabkan pemberitaan media massa sebelum dan selama proses persidangan di pengadilan. 

Aturan contempt of court berasal dari doktrin pure streams of justice yang ditujukan untuk menjaga integritas hakim dan juri dari prasangka. Hakim terkemuka Inggris, Lord Hardwicke, menyatakan bahwa:“There are three different sorts of contempt. One kind of contempt is scandalizing the Court itself. There may be likewise a contempt of this Court, in abusing parties who are concerned in causes here. 

There may be also a contempt of this Court in prejudicing mankind against persons before the cause is heard. There cannot be anything of greater consequence than to keep the streams of justice clear and pure, that parties may proceed with safety both to themselves and their characters.” 

Selain menjaga netralitas hakim, aturan contempt of court di Inggris melalui Contempt of Court Act 1981 juga bermaksud melindungi kehormatan hakim sehingga semua tindakan, ucapan, dan tulisan yang tidak menghormati hakim yang dil-akukan para pihak yang beperkara, penegak hukum, media, maupun hakim sendiri dapat dikategorikan sebagai contempt of court

Namun, apa yang kita ketahui sekarang, di Indonesia malahan ada tulisan berita dan acara talkshow yang buka-bukaan yang dapat dikategorikan sebagai contempt of court karena mengganggu atau menghambat proses hukum di pengadilan. Selain itu, dapat ditemui pula headline atau berita utama di koran yang begitu mencolok dan bersifat insinuasi, sehingga mau tidak mau akan mempengaruhi jalannya proses hukum dan pencarian keadilan. 

Semakin berita tersebut dipublikasi dekat dengan hari dan tanggal sidang, maka tentu akan semakin mengganggu jalannya proses peradilan. Pelaku contempt of court dapat dihukum menurut Contempt of Court Act 1981 kalau jaksa dapat membuktikan bahwa editor berita memang berniat untuk menciptakan prasangka (prejudice). Media di Inggris umumnya sangat berhati-hati dalam reportase yang berkaitan dengan proses peradilan karena media di sana sangat menghormati dan menghargai integritas, intelektualitas, loyalitas, dan kejujuran hakim. 

Aturan Contempt of Court di Indonesia 


Pada hakikatnya, contempt of court itu suatu perluasan pengertian pada tindakan yang dipandang mempermalukan, menghalangi, atau merintangi pengadilan di dalam penyelenggaraan peradilan atau dipandang sebagai tindakan mengurangi kewibawaan atau martabat peradilan maupun hakim. 

Tindakan tersebut dilakukan secara sengaja untuk merintangi atau menyia-siakan penyelenggaraan peradilan, tidak menaati perintah pengadilan yang sah, atau tidak memenuhi putusan pengadilan. Singkatnya, melanggar atau memandang rendah pengadilan. Pengaturan contempt of court dalam KUHP dan KUHAP baru adalah suatu hal, namun penegakan hukum adalah hal lain. 

Jika ke depan contempt of court diatur dalam KUHP dan KUHAP baru, akan banyak perkara perdata dan pidana di Indonesia yang sebelumnya tidak dapat dieksekusi walaupun telah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) pada akhirnya dapat dituntut di muka pengadilan karena ada ancaman sanksi terhadap pelaku contempt of court baik denda (civil contempt of court) maupun hukuman penjara (criminal contempt of court). 

Selama ini para pemimpin dan elite Indonesia memang menghormati lembaga peradilan. Namun, ada hal lain yang tidak diperhatikan yang sebenarnya juga harus dihormati yaitu proses peradilan dan putusan pengadilan. Inilah yang kemudian diatur lebih tegas dalam pengaturan contempt of court sehingga baik lembaga peradilan, proses peradilan, maupun putusan pengadilan dapat dihargai sebagaimana mestinya. 

Membicarakan, memperdebatkan, dan menginterogasi pihak yang terlibat dalam perkara pidana yang akan dan apalagi sedang berproses di pengadilan di hadapan umum secara terbuka tentu saja mengandung unsur contempt of court. 

Tentu hal tersebut dapat mengganggu proses hukum di pengadilan karena termasuk menghina, merendahkan, dan mengabaikan serta menghambat fungsi, martabat, wibawa, kebebasan, dan imparsialitas hakim (pengadilan) baik secara langsung (direct contempt of court) maupun tidak langsung (indirect contempt of court). 

Karena itu, budaya hukum masyarakat perlu ditingkatkan agar proses dan putusan pengadilan ke depan dihormati semua orang tanpa kecuali, seingga selaras dengan asas persamaan di hadapan hukum atau yang biasa kita kenal dengan istilah equality before the law.


FRANS H WINARTA 
Ketua Umum Peradin, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

(nfl)

(Sumber : Koran Sindo)


Tidak ada komentar: